Thursday, July 28, 2011

Short Fiction Stories : Song For You

I smile, you laugh, I look away
I sigh, you ask me “why?”, I say..
It’s okay and I’m just feeling down
Your hand on mine, I hear the words
If only love had found us first
Our lives they would be different.. oh..

Kami terdiam lagi. Sudah kesekian kali aku memutar lagu itu dari ponselku. Mungkin kini sudah yang ke-empat kali. Dan kami masih saja terdiam di bawah naungan atap fiberglass di depan emperan toko bakery tempatku bekerja. Setengah jam yang lalu, aku baru saja selesai bekerja, dan dia sudah menungguku di luar. Berdiri mengenakan kaos hitam, semakin menegaskan ketampanannya karena kulitnya yang berwarna putih. Rambutnya agak basah terkena rintik hujan yang sedari tadi sudah turun.

Would you mind to turn it off, Trish?” pintanya padaku.

“Kenapa? Kamu nggak tahan mendengarnya?” tantangku.

“Iya, aku nggak tahan. Jadi sekarang kamu mau mematikannya?”

“Tunggu sebentar..” ucapku, masih mendengarkan syair lagu dari Good Charlotte tersebut, yang sudah menjadi semacam soundtrack untuk hidupku setahun ini.

And now I must confess, that I’m a sinking ship
and I’m anchored by the weight of my heart ‘cuz it’s filled with these feelings
But I keep my true thoughts locked, inside my heart black box
and it won’t be found, it won’t survive through the smoke or the wreckage
so I crash.. and burn.. I got a lot of things to learn

Kutekan icon PAUSE di player ponselku, kemudian kutatap dia,”Apakah aku akan mempelajari sesuatu dari semua ini, Duncan?”

Duncan hanya diam. Lagi-lagi tak mampu menjawab.

“Duncan..”

“Trisha, please, kau tahu ini sangat berat untukku. Maafkan aku, Trish.”

“Kau lebih memilih dia.”

“Kaupikir mudah untuk menatapmu dan mengatakan aku tidak mencintaimu, Trish? Apa kaupikir itu mudah untukku?!..”

Aku terdiam, mencoba menahan dorongan air mata yang mendesak ingin keluar dari kelopak mataku.

“.. aku mohon, Trish, mengertilah.”

“Bagian mana yang harus kumengerti? Bahwa aku harus merelakanmu kembali pada tunanganmu dan menikah dengannya? Bahwa aku harus menyadari kalau aku hanyalah sekilas cinta yang hadir terlambat dalam hidupmu?” air mataku menetes.

“Kamu bukan sekilas cinta untukku, Trish. Aku akan selalu mencintaimu, meski aku harus menyimpannya erat-erat.. di kotak hitam hatiku.. hufftt.. seperti lagu itu.”

Aku mencoba tersenyum, namun terasa kecut.

“Jadi sekarang kau memintaku untuk move on? Mencari cintaku yang seharusnya? Dan berusaha bahagia melihatmu bersamanya?”

Duncan menunduk, menatap genangan air di dekat kakinya. Suara air hujan makin kencang, membasahi jalanan yang masih cukup ramai dengan kendaraan yang berlalu lalang.

“Aku sebenarnya tidak ingin kamu dimiliki orang lain. Egois bukan? Aku tidak bisa memilikimu, dan aku tidak ingin ada pria lain yang memilikimu.”

Aku tertawa pahit.

“Aku tidak menyangka aku menemukan seseorang sepertimu, Trish. Seseorang yang mampu membangkitkan chemistry yang berbeda. Seseorang yang mampu membuatku tertawa lepas dengan segala leluconmu. Seseorang yang bisa menangkap apapun yang sedang kurasakan meski aku hanya bercerita tidak jelas. Seseorang yang hadir saat aku tertekan dengan dia. Seseorang yang bisa mengerti segala mimpiku. Seseorang yang mampu membuatku merasa lebih tenang. Seseorang yang bisa memberikan.. segalanya..”
Aku menghela nafas sambil menghapus buliran air mata di pipiku.

“Aku..”

“Aku juga mencintaimu.” Ucap Duncan memotong kalimatku, seakan tahu benar apa yang akan kukatakan padanya. Dan dia memang tahu benar.

Duncan memelukku. Pelukannya hangat sekali, seketika menghangatkanku dari dinginnya udara hujan dan dinginnya hatiku, mampu membuatku menguras air mataku untuk tumpah di bahunya.

“Maafkan aku, Trish.” Ucapnya membelai rambutku.

“Kenapa kita terlambat bertemu?” tanyaku meski aku sendiri sudah tahu jawabannya. Aku hanya butuh suatu excuse.

“Karena kita bukan jodoh, Trish.” Jawab Duncan.

Dia akan pergi. Dia akan menikah dan pindah ke luar kota. Dia akan pergi dari hadapanku dan dari kehidupanku. Dia takkan kembali. Dan aku hanya akan tertinggal sendiri olehnya, berjuang menyembuhkan rasa sakitku sendiri. Berjuang melanjutkan hidupku.

“Bisakah.. kita berjodoh.. di afterlife?” harapku.

“Semoga.” Jawabnya singkat. Dia melepas pelukannya.”Aku harus pergi.”

Duncan tak sanggup menatapku yang mengharapkan tatapan terakhir dari mata birunya. Dia berbalik, mulai berjalan menjauh dariku di bawah rintik hujan, membiarkan tubuhnya basah. Aku memandangnya berlalu. Beberapa langkah, kulihat dia berhenti. Dia berbalik kembali setengah berlari menghampiriku.

Diraihnya tubuhku, didekapnya erat, kemudian dia menatapku, mendekatkan wajahnya pada wajahku, pelan-pelan melekatkan bibir dinginnya di bibirku yang masih tergetar oleh sisa tangis dan rasa sakit di dalam hatiku.

Duncan menciumku, lembut dan lama. Aku merasakan bibirnya yang basah karena tetes hujan yang mengalir di wajahnya. Tanpa berkata apapun, aku tenggelam dalam ciuman selamat tinggalnya.

Dan dia pun pergi dariku.

Kunyalakan kembali player musik di ponselku yang tadi berstatus PAUSE.

.. where would we be now baby, if we found each other first?
What would you do now darling, If I said these simple words..
I’ll wait, I’ll wait.. as long as you want.. where would we be now baby..

*THE END*

No comments:

Post a Comment