Monday, August 1, 2011

Short Fiction Stories : Frekuensi Nada Asing




(Salema, Portugal)

“Sora!... Sora!” Airas berlari terengah-engah mengejar anjingnya di tepi pantai yang sangat sepi.

“Menurutmu di sinikah?” tanya Airas pada Sora yang tiba-tiba berhenti di dekat sebuah bangku panjang dengan dua slat sandaran, di antara rumput liar dan kerikil-kerikil pantai. Sora hanya menggonggong dua kali dan menatap tuannya.

Airas menghampiri bangku panjang itu dan duduk di ujung tepinya, memandang batas cakrawala laut. Ada sebuah perahu kosong terlihat mengapung di tengah laut.

“Di sinikah mereka mengambilmu, Clara?” gumam Airas dengan perasaan yang aneh.

Seminggu lalu, Airas masih bisa bercengkerama dengan Clara di Salema, desa tempat mereka tinggal. Sebuah desa nelayan kecil yang terletak di bagian barat daya Portugal. Airas sangat mencintai Clara, mereka bahkan sudah akan menikah. Namun kenyataan tampaknya tak berpihak pada Airas. Tiga hari sebelum mereka menikah, Clara tiba-tiba menghilang tanpa jejak entah ke mana.

“Kalau apa yang dikatakan orang desa benar, bahwa sesuatu itu yang telah mengambilmu, maka aku akan menunggu di sini, menunggu mereka mengambilku juga!” Airas meneguk minuman dalam kaleng yang sedari tadi dibawanya. Sora dengan setia menunggui Airas di dekat kaki Airas.

Tidak pernah ada orang yang berani datang ke sisi pantai di mana Airas berada kini. Mendekati pun tidak pernah. Tidak ada yang tahu di mana persisnya posisi yang tidak boleh didekati di sisi pantai itu. Orang-orang desa percaya bahwa kadang-kadang ada sesuatu yang muncul di sisi pantai itu, mengambil siapapun yang tengah berada di sana. Kata mereka, sebuah kekuatan akan menarik siapapun yang berani sedikit saja mendekati daerah itu, menuntunnya memasuki daerah itu tanpa kesadaran. Kini, Sora telah menuntun Airas menuju ke daerah yang diyakininya sebagai posisi tepat daerah terlarang itu. Airas ingin menantangnya.

Senja mulai meliputi Salema. Airas masih duduk di tepi pantai itu, merasakan tiap objek di pantai memainkan nada suramnya. Melodi air laut berdesir pelan, tak tampak adanya ombak tinggi yang menggulung di lautan. Bersama dengan nada yang diciptakan angin memainkan rerumputan liar, menimbulkan suara gesekan-gesekan kecil, menambah suasana yang entah kenapa terasa sangat kelam bagi Airas.

“Sepertinya mereka akan datang, Sora,” ucap Airas yakin. Tidak ada sedikitpun rasa takut dalam dirinya. Sora kembali menggonggong.

Langit mulai menghitam, lebih pekat dari sekedar mendung biasa. Pedesaan yang letaknya tak begitu jauh sudah sepi, orang-orang desa akan segera berbondong-bondong masuk rumah tiap kali ada tanda akan turun hujan. Namun kali itu Airas yakin, langit mengisyaratkan hal lain, bukanlah hujan. Gumpalan-gumpalan awan tampak berkumpul tepat di langit yang Airas pandang. Angin mulai berhembus kencang, Airas merasakan angin dingin itu menyapu wajahnya. Matanya hampir tak berkedip melihat ke arah gumpalan awan. Sinar putih menyeruak di antara gumpalan awan.

“Itu bukan sinar matahari, Sora…” Airas mulai merasakan jantungnya berdegup kencang. Suara desingan yang sangat keras terdengar dari langit. Sora menyalak terus menerus dengan keras, sementara Airas tetap tenang di bangkunya. Suara desingan dari langit terdengar makin keras.
*-*-*-*

(FBI Headquarters, Washington D.C)

“Kembali terjadi di Portugal,” Smithson menyerahkan sebendel berkas kepadaku. Aku menerimanya dan membuka berkas itu. Terdapat selembar foto yang menunjukkan seorang lelaki duduk di bangku dengan seekor anjing di dekat kakinya, menghadap ke pantai. Di atas lautan tampak langit hitam dengan gumpalan awan dan sinar putih di sela-sela awan.

“Siapa lelaki itu?” tanyaku.

“Airas Costa. Tunangan dari Clara Agrippina, yang hilang beberapa waktu sebelumnya.”

“Siapa yang mengambil fotonya?”

“Seorang penduduk lokal yang langsung lari dari tempat kejadian setelah benda itu muncul. Dia hanya berhasil mendapatkan foto ini. Well, setidaknya dia berhasil lolos.”

UFO? Flying saucers?”

Smithson mengangguk, “Pemilik foto ini yakin bahwa dia melihat piring terbang di atas laut itu.”

*THE END*

No comments:

Post a Comment