Monday, August 1, 2011

Short Fiction Stories : Lucid Dreaming

A hundred days have made me older
Since the last time that I saw your pretty face
A thousand lies have made me colder
And I don't think I can look at this the same
But all the miles that separate
Disappear now when I'm dreaming of your face…*

Kujanjikan padanya aku pasti segera pulang. Bahwa aku hanya akan pergi sebentar. Para teroris itu akan segera kami temukan dan ringkus, dan aku bisa secepatnya kembali padanya. Kembali melihat wajah cantiknya yang sudah sangat kurindukan.

Aku pergi di tengah pertengkaran kecil kami di Joe Breakfast. Meninggalkannya begitu saja Minggu pagi itu, setelah mendapatkan telepon tiba-tiba dari Captain Heinrich yang memerintahkanku bergabung dalam sebuah Counter-Terrorism Operations, mengejar keberadaan mafia Russia, otak pelaku pembajakan dan penyanderaan di hotel tempat menginap para delegasi konferensi penting dunia, yang terjadi sekitar setengah tahun lalu. Operasi besar ini membutuhkan banyak sekali personil gabungan dari beberapa negara bagian dan membuatku bepergian terus melacak target kami, dari kota ke kota.

Bukannya Rosalind tidak mendukungku untuk menjadi anggota tim SWAT kepolisian Los Angeles, hanya saja dia khawatir berlebihan karena pekerjaanku ini. Akibatnya, dia seringkali marah padaku tiap kali aku pergi. Dia bilang padaku, ”Apakah aku akan selalu ragu kamu bisa kembali atau tidak? Apakah hari ini akan ada penculikan, penyanderaan, operasi-operasi rahasia yang tidak kuketahui? Apakah kamu akan baik-baik saja? Aku lelah dengan segala kekhawatiran itu!”

Begitulah Rosalind. Mungkin sebenarnya dia tidak siap untuk menjadi pendamping seseorang dengan profesi sepertiku. Tapi aku tahu, dia mencintaiku seperti aku begitu mencintainya.

 “Kirby!” Rosalind berlari dari pintu depan rumah untuk menyambut kedatanganku. Aku merasa bagai tentara yang baru saja pulang dari perang. Akhirnya aku bisa melihat wajah cantik itu lagi. Langsung aku memeluknya dan menciuminya.

“Aku sudah bilang, aku pasti akan kembali kan?” ucapku.

“Tidak bisakah kamu mencari pekerjaan lain?”

Aku tertawa,”Inilah hidupku, honey. Aku tidak bisa meninggalkannya. Seperti aku tidak akan meninggalkanmu, karena kamu juga hidupku. Lihat, aku sudah kembali kan?” sedikit kata-kata manis akan membuatnya tersenyum.

“Ya sudahlah, yang penting kamu sudah kembali sekarang. Apa kamu tahu kalau sudah hampir setahun aku tidak melihatmu?”

Rosalind menggandengku memasuki rumah. Dia sudah menyiapkan banyak sekali masakan. Dan untuk sekian lama, akhirnya aku bisa menikmati makan malam berdua dengan istriku di rumah.

Tiba-tiba semuanya gelap. Kurasakan tubuhku ternyata tengah tertidur telentang di dalam sebuah mobil van SWAT. Aku teringat kami tengah dalam perjalanan cukup jauh menuju ke salah satu lokasi yang diyakini sebagai tempat tinggal target. Sial! Aku hanya bermimpi! Aku belum kembali pada Rosalind, aku masih terjebak dalam operasi sialan ini!

Aku tidak bisa menggerakkan tubuhku. Bahkan untuk membuka mata dan bangun dari tidur pun aku tidak mampu. Sial lagi! Aku mengalami Sleep Paralysis. Beberapa kali aku mengalaminya, karena kelelahan dan pola tidurku akhir-akhir ini yang tidak teratur. Dadaku terasa sesak seperti ada yang menimpaku, ingin sekali aku  berteriak tapi aku tidak bisa. Kucoba sekuat tenagaku untuk bergerak. Sangat susah dan rasanya butuh waktu cukup lama hingga akhirnya aku merasa mampu menggerakkan telapak tanganku satu kali.

“Flenchbroom! Bangunlah, sebentar lagi kita sampai,” suara teman satu tim-ku terdengar membangunkanku, membuatku membuka mata dan duduk. Pintu van terbuka, dan kami turun satu persatu di sebuah areal bekas pabrik cat yang sudah lama gulung tikar. Dengan senjata di tanganku dan mengikuti komando, kami mulai bergerak menyusuri area tersebut, pelan dan pasti bersiap melakukan penyergapan sesuai strategi yang kami terima dari briefing siang tadi.

Tiba-tiba semua terasa gelap lagi. Ternyata aku belum terbangun dari tidurku. False Awakening. Aku masih di dalam mimpiku dan tertidur di dalam van yang menyusuri jalanan. Aku masih merasa belum mampu membuka mataku dan kembali terbawa dalam mimpi.

Aku tahu aku tengah bermimpi. Kali ini aku berada di dalam ruang santai rumah. Tidak ada Rosalind di sana. Maka kubayangkan Rosalind datang, masuk dari luar rumah dan berteriak padaku.

“Kirby! You’re gonna be a daddy!”

Aku memeluknya, mencoba melompati waktu dan melihat dirinya dengan perut yang besar, menemaninya melahirkan, kemudian menggendong bayi laki-lakiku.

Lucid Dreaming. Aku paling suka saat mengalami Lucid Dream, di mana aku tahu betul, aku sadar bahwa aku tengah bermimpi. Dengan begitu aku bisa mengontrol semua tindakanku dalam mimpi itu. Sesukaku.

*-*-*-*

Kubuka kelopak mataku dan mendapati senyum Kirby, di tengah silaunya sinar matahari yang menerobos masuk dari luar jendela kamar. Jam dinding berbentuk persegi dengan hanya ada dua angka, angka 3 dan 9, masih terpasang di dinding kamar. Aku benci dengan jam itu. Kenapa angkanya hanya 3 dan 9? Membuat pusing saja saat membacanya. Tapi aku tidak pernah menyingkirkannya karena aku tidak enak pada Kirby. Sahabat Kirby yang menghadiahkan jam itu untuk hadiah pernikahan kami. Namun saat ini, tidak apalah kalau aku harus melihatnya lagi di dinding kamar.

Good morning, Sunshine,” ucapnya. Aku tersenyum. Kalau aku boleh hiperbolis, raut wajah Kirby yang menyambutku bangun tidur terasa bagaikan sinar matahari untukku. Dengan begitu, aku tidak perlu membuka tirai jendela kamar, dan cukup menikmati gelapnya kamar berdua dengan Kirby, seharian.

Kubalikkan tubuhku ke arah berlawanan dari hadapan Kirby dan melihat ke kalender duduk yang berada di atas meja kecil samping tempat tidur. Tanggal dan hari yang sama. Kembali aku berguling untuk berhadapan dengan Kirby yang masih berbaring miring menghadapku.

Suara yang sama. Aku masih ingat betul dengan suara itu. Air terdengar mengalir deras dari dalam kamar mandi. Kirby menyalakan air keran untuk mengisi bathttub. Kugerakkan kakiku yang masih terbungkus selimut. Aku punya banyak rencana.

“Kamu tidak boleh pergi,” kataku kemudian.

I’m going nowhere,” balasnya kemudian mendaratkan sebuah kecupan di bibirku. Rasa ciuman yang sama. Hanya saja kali ini, aku tidak membiarkan bibirnya lepas dari bibirku secepat yang terakhir kali kurasakan. Aku menahan bibirnya lebih lama.

“Bohong. Kamu akan pergi dua jam lagi…” gumamku kemudian.

“Apa, Rose?” tanya Kirby mendengar gumamanku.

“Tidak, tidak apa-apa…” jawabku berbohong,”…kali ini aku tidak akan membiarkanmu pergi, seperti aku pernah melakukannya…,” batinku.

Cepat-cepat aku bangun dari ranjang.

“Kamu mau ke mana?” tanya Kirby.

“Mematikan air keran sekaligus mandi. Sudah luber...”

“Darimana kamu tahu kalau sudah luber, dear?”

I just knew… setelah mandi, aku akan membuatkanmu pancake dengan saus maple, dan membawakannya ke sini.”

“Hmm… pancake? Tumben. Sudah lama kamu tidak memasakkanku sarapan. Kita selalu sarapan di Joe Breakfast. Apakah aku berulang tahun hari ini dan mendadak aku lupa?”

“Tidak. Aku hanya ingin memasakkan makanan kesukaanmu saja.”

“Baiklah. Jadi… kita akan sarapan di atas tempat tidur?”

“Iya. Kamu tetap di sini ya? Jangan kemana-mana. Tidak satu inchi-pun menuruni tempat tidur,” pesanku menatapnya galak.

“Wooww, kenapa? Tidak bolehkah aku mandi nanti?”

“Setelah sarapan saja, oke?” ucapku kemudian memasuki kamar mandi.

Aku membawakan sarapan pagi ke kamar. Kirby masih di atas tempat tidur, menyalakan televisi yang berada di depan ranjang. Menonton acara talkshow pagi yang sangat membosankan.

“Terima kasih telah menurutiku untuk tidak beranjak dari tempat tidur,” ucapku meletakkan baki berisi sarapan di meja kecil dekat ranjang. Aku melihat ponsel Kirby ada di sana. Begitu Kirby tengah sibuk menikmati sarapannya di atas ranjang dan matanya menatap layar TV, segera aku meraih ponselnya dan memasukkannya ke dalam laci setelah mematikannya. Ponsel itu tidak boleh aktif.

“Sekarang aku baru boleh mandi?” tanyanya setelah menghabiskan sarapan.

“Tentu saja,” jawabku.

Selama Kirby mandi, aku menutup tirai jendela kamar yang tadi sudah dibuka Kirby. Kumatikan televisi dan duduk di atas ranjang, menunggunya selesai mandi.

Sambil mengusap rambutnya yang basah dengan handuk, Kirby keluar dari kamar mandi.

“Kok ditutup lagi tirainya?”

Come here,” pintaku pada Kirby untuk mendekatiku.

“Ada apa?”

“Bisakah kita seharian ini cukup di dalam kamar, dan beristirahat?”

Kirby memandangiku keheranan.

Please?”

Kirby tak menolak. Maka dengan bebasnya aku merancang hari indahku di dalam kamar, bersama Kirby.

*-*-*-*

Kubuka mataku pelan-pelan, meninggalkan keindahan yang kuciptakan dalam tidurku. Kurasakan sinar matahari mengintip di balik tabir jendela. Tidak ada lagi jam persegi jelek terpasang di dinding kamar. Aku sudah melepasnya sebulan lalu. Kulihat kalender di meja dekat ranjang, menunjukkan tanggal dan bulan yang benar saat ini.

Aku menoleh ke sampingku. Tidak ada Kirby di sana. Dia tidak pernah kembali sejak pergi karena mendapatkan telepon itu. Yang kudapatkan hanyalah sebuah medali penghargaan, setelah terjadi insiden besar di sebuah pabrik cat tua yang mampu meringkus seorang mafia Russia. Medal Of Valor, begitu mereka menyebutnya. Tapi apa peduliku dengan medali itu?! Aku hanya menginginkan Kirby!

Dan kurasakan air mata menetes di pipiku. Selalu mengalir deras tiap kali aku membuka mata di pagi hari. Aku belum sanggup untuk menghentikannya.

*-*-*-*

Lucid Dreaming. Aku paling suka saat mengalami Lucid Dream, di mana aku tahu betul, aku sadar bahwa aku tengah bermimpi. Dengan begitu aku bisa mengontrol semua tindakanku dalam mimpi itu. Sesukaku.

Kurasakan kakiku terasa berat untuk melangkah. Dengan tangan Kirby yang menggandeng tanganku, kami berjalan menyusuri jalan setapak yang tertutup oleh timbunan salju. Di kanan kiri jalan terlihat pohon-pohon tanpa daun yang berjajar tertutup oleh lapisan-lapisan salju.

“Kamu lelah?” tanya Kirby dengan suara beratnya.

Aku memandangnya. Rambut Kirby telah memutih dengan gurat-gurat halus di keningnya, menaungi matanya yang masih memancarkan cinta yang begitu besar kepadaku. Aku tahu, Kirby pasti tetap tampan walau usianya menua. Aku yakin wajahku pun sudah tampak keriput seiring nafasku yang terasa pendek-pendek meski hanya untuk berjalan pelan-pelan. Yang terdengar hanya suara tapak kaki kami meninggalkan jejak di atas salju.

Aku menggeleng pada Kirby, “Selama kamu terus menggenggam tanganku, aku tidak akan merasa lelah,” jawabku yakin. Kirby tersenyum, membimbingku mendekati sebuah pondok kecil di ujung jalan. Pondok yang terletak di tengah-tengah hutan sebuah desa kecil. Tipikal rumah untuk menikmati hari tua.

Sesampainya di dalam pondok, Kirby membantuku duduk di sebuah sofa di dekat perapian. Dia menyalakan perapian sebelum ikut duduk di sofa bersamaku. Aku memeluknya, memeluknya begitu erat kemudian menciumnya.

“Kamu boleh pergi, tapi jangan pernah pergi dari mimpi-mimpiku,” bisikku padanya.

I'm here without you baby
But you're still on my lonely mind
I think about you baby
And I dream about you all the time
I'm here without you baby
But you're still with me in my dreams
And tonight it's only you and me…*

*THE END*

Note :
*song lyric : Here Without You, by 3 Doors Down

No comments:

Post a Comment